Pagi ini, mungkin lebih tepatnya
subuh ini, secara tadi masi jam 5 lebih si, lebih setengah jam maksudnya, ada
tiga orang cowok, maaf, mungkin lebih tepatnya laki-laki datang ke rumah ini.
Ndak mungkin nyari saya tentunya, nyari om saya. Saya ndak tahu sih hubungan
mereka apa, tapi saya mengenali salah satu dari mereka, salah satu dari mereka
dua hari ini sering main ke rumah, sepertinya sih sedang dalam sebuah
kepanitiaan dengan tante saya. Yang
seorang itu sedang sibuk ngeprint sesuatu dan yang dua orang duduk di ruang
tamu. Ruang tamu rumah ini tepat di sebelah kamar saya, jadinya saya terdengar,
bukan nguping lo, pembicaraan antara dua orang itu dengan om saya.
Ndak tahu si gimana awalnya, kalo
ga salah salah satu dari dua orang ini bercerita dia sudah mau nikah, lalu
terkesannya si dia masih belum yakin, jadi minta pendapat om.
*ini penilaian hanya berdasarkan
nada suara yang terdengar dari kamar saya*
Singkatnya, kurang lebih, kalo
ndak salah dengar, om bilang
Sebenarnya
sih ndak ada kata ndak siap, semua pasti siap, kalaupun dia ndak siap namun dia
tetap melanjutkan niat baiknya untuk menikahi seseorang, nanti setelah nikah,
pasti dia siap, karena mau tidak mau, suka tidak suka, tanggungjawabnya sebagai
suami lah yang akan membuat dia siap. Jadi ndak ada itu kata ndak siap
Apalagi
mas, sudah selesai kan kuliahnya, berarti paling tidak sudah bisa mencari uang
sendiri, pasti siap, mas mau nikah sama adek kelasnya ya?
Saya, yang mendengarnya dari
dalam kamar, memilih untuk menarik selimut dan tidur lagi. Karena saya masih
agak trauma dengan kata atau kalimat nikah, apa adanya dan belum siap
tanggungjawabnya. Dan saya akan segera menutup kuping kalo denger tiga kata
itu, begitu juga sekarang.
Tapi, saya setuju dengan kalimat
om, meski mungkin saya bukan cowok yang sering merasa ndak siap “menikahi”
seseorang, yang penting niatnya, untuk menyempurnakan separuh agama,
menghasilkan keturunan yang baik dan menghindari fitnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar