Minggu, 14 Juni 2015

Ilmu Gizi = Multidisiplin

Tiga hari kemarin, saya merasakan ada sesuatu yang membuat saya sedikit bangga menjadi seorang yang berkecimpung di "dunia gizi"

Rabu, kamis dan jumat kemarin, menyadarkan saya kalau "dunia gizi" itu luas pake banget, jadi ahli gizi juga bukan sekedar nimbang makanan dan ngasih makanan ke orang sakit.

Berawal dari rabu, seperti biasa, ada jadwal praktikum anatomi di hari rabu.
Mungkin praktikum anatomi ini juga tidak ada bedanya dengan praktium anatomi biasanya, terasa agak "berbeda" adalah ketika membandingkan hari rabu ini dengan hari selanjutnya.

Oh iya, di semester ini, saya memang kebagian ngajar anatomi, tapi lebih ke megang praktikum anatomi yang menunjukkan letak-letak organ tubuh manusia, kalau untuk teori, banyak dipegang oleh dosen dari prodi keperawatan, karena memang mereka jauh lebih expert dari saya.

Kamis siang, saat saya mengikuti presentasi dari mahasiswa, mata kuliahnya sebenarnya adalah dasar-dasar manajemen, dengan topik bahasan manajemen rumah sakit.
Diskusi yang terjadi bukan tentang bagian manajemennya, malah ke bagian anatominya. Bahan diskusi adalah, apa arti poli onkologi, apa arti poli ginekologi, apa maksud dokter subspesialis, apa arti residen, dan beberapa istilah anatomi lainnya.

Pertanyaan itu membuat saya ngakak di belakang kelas
Berasa saya salah masuk kelas

Semester ini saya juga kebagian sedikit ngajar di mata kulah dasar-dasar manajemen. Mungkin karena bagi mahasiswa saya jauh lebih sering masuk kelas anatomi, jadi saat ada saya di kelas, mereka menganggap ini kelas anatomi, atau mungkin mahasiswanya kurang minum
#eh?

Saat evaluasi, barulah saya paparkan kalau diskusi ini agak nyeleneh, ini mata kuliah dasar-dasar manajemen ya, bukan anatomi, harusnya titik beratnya adalah bagaimana posisi "manajemen" di rumah sakit, bukan di nama-nama polinya.
Lebih baik kalian menghitung jumlah poli untuk menentukan tipe RSnya, bukan menanyakan maksud nama polinya ya
Mereka tersenyum dan menyadari kalau diskusi tadi semacam salah kelas

Terbesit pemikiran, ngapain ya gizi harus belajar manajemen?
Sejujurnya saya juga tak paham, sepaham saya, dulu saat dosen menjelaskan, beliau bilangnya karena memang nantinya kita akan jadi seorang manajer, atau pemimpin sebuah instalasi gizi, maka kita harus beajar dan paham ilmu manajemen.
Namun sebenarnya, meskipun mungkin bukan manajer atau pemimpn instalasi gizi, kita juga sebenarnya perlu ilmu manajeme, paling tidak untuk jadi manajer bagi diri kia sendiri.

Setelah anatomi dan dasar-dasar manajemen, jam selanjutnya adalah praktikum kimia organik
Saya  (juga) ikut membantu dalam praktikum hari ini, yang jadwalnya adalah ujian praktikum pembuatan kloroform.
Sebenarnya saya bukan tim dosen, namun karena dosen penanggungjawabnya resign bulan kemarin, jadi saya ikutan nyemplung disini.

Mulai berasa kalau dunia gizi ini luas, setelah belajar tentang organ-organ tubuh, lalu belajar manajemen dan sekarang, kimia, semcam 3 bidang yang agaj berjauhan tapi bisa dikuasai oleh orang yang berkecimpung di dunia gizi.
Dikuasai ya, bukan expert di tiap bidang.

Terakhir yang bikin kagum adalah praktikum dasar-dasar ilmu gizi, yang jumat kemarin temanya adalah masak.
Pastinya orang akan menganggap orang gizi itu hanya bisa masak. Jadi tidak ada yang spesial dengan praktikum memasak.
Sama seperti pernyataan tentang praktikum anatomi, praktikum masak mungkin juga tidak ada spesialnya, tapi kalau dibandingin dengan 2 hari sebelumnya, ini terasa spesial

Tidak cuma 3 bidang, orang gizi, disini khususnya mahasiswa semester 2 intitusi ini bisa empat bidang lho, anatomi, dasar manajemen, kimia dan masak/kuliner. Empat bidang yang mungkin agak jauh, agak susah dihubungin tapi tetep harus dikuasai.

Unfortunately

Jadi ceritanya, setelah semingguan badan agak disiksa, niatnya awal weekend (baca: jumat malam) ini pengen istirahatin badan, pengen tidur lebih awal.

Sudah pakai baju tidur, ada teman yang ngajakin nonton bareng salah satu acara tv swasta di salah satu mall di bekasi.



Pengennya sih langsung bilang ndak mau, tapi ndak enak, alhasil cari alasan. 
Alasan pertama, motor udah dimasukin, jadi kalau mau ngajakin kudu jemput. Alasan ini langsung terbuyarkan dengan kalimat, "OK, kamu dijemput, tapi bonceng aku ya"
Alasan pertama terbuyarkan, jadi ndak sempet bikin alasan kedua dan seterusnya, hmmmm

Rombongan nonton bareng hanya ada 3 orang, saat saya dijemput, kami masih harus menjemput seorang lagi.
Penjemput datang dengan motor matic-nya dan menyuruh saya nyetir. Oke baiklah, konsekuensi nggak bawa motor sendiri adalah bawain motor orang, lagian matic ini, lebih gampang dibanding motor manual, menurut saya.

"Tapi ati-ati ya, ini remnya nggak begitu pakem", pesen si empunya motor

Saat perjalanan ke rumah seorang rombongan, aman semuanya, saya bisa mengendalikan matic ini, meski memang remnya agak ndak begitu pakem.

Sampai di rumah seorang rombongan ini, dianya belum siap, alhasil saya mampir ke kontraan sebelah yang juga merupakan teman sekantor. Iseng-iseng ngobrol, si dedek (panggilan kesayangan untuk teman sekantor ini, red) bilang, "Mbak, perasaanku ndak enak sama perjalanan kalian!"
Berhubung si dedek ini emang orangnya sukabercanda, kita mengacuhkan lah ya, menganggapnya itu ekspresi pengen ikut tapi ndak bisa. Si dedek memang berencana pulang ke tangerang, jadi tidak bisa ikut

Kekurangberuntungan pertama,
Keluar dari rumah seorang rombongan ini, memang seperti sebuah tanjakan, saat menanjak, aman, lalu saat harus berenti di ujung tanjakan, saya (merasa) sudah memencet kedua rem tangan tapi si matic malah mundur, bahkan kaki saya sampai semcam nendang-nendang bagian bawah, tapi matic makin mundur, daaaaaaan
jatoh deh, saya "kebrekan" si matic ini
Di kepala saya, saya hanya mikirin teman yang saya bonceng dan si matic ini, saya jatoh gak papa lah ya, pikir saya.
Pas masih pose saya di bawah dan "dibreki" matic, teman saya tampa sehat dan bilang, "Mbak, kamu nggak papa?"
Kalimat yang muncul pertama adalah, "Motor kamu nggak papa Mbak?", ya karena saya sudah yakin teman yang saya bonceng tidak apa-apa, maka yang saya khawatirkan selanjutnya adalah si matic
"Kamu ini jatuh kok ya yang ditanyain motornya to Mbak, motornya nggak papa kok, yaudah sini aku aja yang nyetir" Katanya sambil ngangkat si matic dan melanjutkan perjalanan seperti tidak terjadi apa-apa

Kekurangberuntungan kedua,
Belum juga lima menit, saat kita melewati jembatan dan ada macet di jembatan, yang mboncengin saya ini, memang harusnya pakai kacamata silinder, tapi dia tidak suka pakai kacamata kalau jalan, alhasil motor yang udah berenti dikiranya jalan, daaaaaan
Tinggal satu centi dong jarak matic ini sama motor di depannya, dan saya, maju 10 centi ke depan gara-gara efek ngerem ndadaknya

Memang, harusnya bobo' cantik di rumah saja

Kirainnya, kekurangberuntungan berakhir, ternyata masih belum,
Kekurangberuntungan ketiga, 
Saat sedang asyik nonton, biasalah ya mau ngajakin selfie, pas baru mencet tombol ganti kamera (dari kamera belakang menjadi kamera depan, red) muncullah pemandangan ini,
Hampir saja si HP jatuh kebanting saking kagetnya
Hmmmm

Memang ya, weekend memang paling enak bobo' cantik di rumah.

Tapi ya, bagaimanapun, saya suka kekurangberuntungan ini, bukannya bikin manyun malah bikin ngakak, ada gitu orang jatuh malah ketawa sendiri. Ada kok, saya! :p

Satu lagi, ternyata, pendapat saya kalau MATIC ITU LEBIH GAMPANG DIBANDING MANUAL itu salah adanya, nyatanya seumur-umur saya nyetir motor, sekalinya jatoh pake motor matic.
 

Kamis, 11 Juni 2015

The Day

Tujuh hari terakhir ini, di salah satu medsos saya, saya menuliskan status yang menghitung hari
H-7
H-6
H-5
H-4
H-3
H-2
dan berhenti di situ

Beberapa teman menanyakan, lagi ngitungin apa?
dan saya tersenyum sambil menjelaskan ke beberapa orang

Tanggapan mereka?
"hah? kok aneh?"

Tenang, sejak dulu kok saya aneh
#eh?

Hari ini, the day
Hari apa ya nyebutnya?
Kalau harinya si hari kamis
Tanggalnya 11 Juni
Hari saya akan lebih sering tersenyum mungkin

 *tapi saya sudah tidak sedih ya, red

Tujuh hari yang lalu, jam segini juga sepertinya, saya mendapatkan kenyataan yang tak sesuai harapan atau keinginan saya.
Pastinya saya langsung masuk ke fase, yang saya sih menyebutnya fase denial alias penolakan.
Sejujur-jujurnya saya paling ndak suka di fase ini, karena saya suka susah keluar dari fase ini. Bukan hanya dalam fase tidak mau menerima kenyataan saja, karena kadang, saat dalam fase denial, saya juga akan masuk fase traumatis, yang bikin saya cuma bisa berdiri, bukan berlari.

Tapi fase denial kali ini, terasa beda
Seorang yang (sepertinya) menyayangi saya, di tengah "pilek" saya yang tidak jelas saat itu, mampu membuat saya bener-bener ingin segera keluar dari fase denial ini.
Segera lho ya

Biasanya dalam fase denial, saya sebenarnya sudah tahu jawaban yang saya cari, yaitu ini bukan yang terbaik, namun, saya baru benar-benar bisa keluar dari fase denial ini adalah ketika saya menemukan penjelasan yang bisa masuk ke logika dan perasaan saya tentang kenapa ini bukan yang terbaik.

Sebenarnya, selain ada seorang yang (sepertinya) menyayangi saya, saya juga masih inget ketika fase denial terakhir saya, sehingga saya bisa keluar dari fase denial ini agak cepat.

Seorang yang (sepertinya) menyayangi saya waktu itu, memberikan saya waktu satu hari untuk menangis, dan tujuh hari untuk bersedih. Itupun memng sepertinya terlalu lama, tapi saya kan emang kadang suka lebay ya, jadi ya itu cukup lah ya, :p
Sebenarnya, memang, waktu seminggu itu terlalu lama, tapi kadang kita tidak tahu seberapa "dalam" sakit hati seseorang hingga dia ada di fase denial, jadi sebaiknya jangan suka ngatain orang ketika dia punya waktu yang lama dalam fase denialnya.

Percakapan saya dengan dia yang membuat saya lumayan cepat fase denialnya
Me : Aku sedih
Dia : Buat apa?
Me : Meyedihkan tahu rasanya, kenyataannya sakit lho ini
Dia : Terus maunya gimana?
Me : Nggak tahu
Dia : *hening*
Me : Emangnya besok bakal ada yang lebih baik ya? selama ini aja sepertinya begini aja (ini jangan ditiru, semacam orang yang benar-benar putus asa, red)
Dia : Ada lah
Me : Mana? 
Dia : Allah itu memberikan sesuatu sesuai porsinya kok, ya kalau mungkin selama ini kamu belum dapet apa yang kamu inginkan, mungkin yang kamu inginkan itu bukan porsi kamu. Nyatanya kamu juga "nyiksa" hati kamu kan saat menjalani apa yang menurut kamu kamu inginkan itu
Me : Iya *sambil manyun*, tapi aku masih boleh nangis?
Dia : Sebnernya sih nggak boleh, tapi kalau itu buat kamu lega, boleh
Me : Berapa lama?
Dia : Sampai malam ini aja ya kalau mau nangis
Me : Kalau sedih, boleh?
Dia : Buat apa?
Me : Nyakitin tahu
Dia : Yaudah boleh sedih, jangan lama-lama
Me : Berapa lama?
Dia : Seminggu
Me : Makasih yaaa
Dia : Jagan lama-lama ya

Saya, entah sejak kapan mulai gampang trauma
Seperti saat saya dicopet di bus dengan cara dipepet cowokcowok, setelah kejadian itu tiap kali melihat kumpulan cowok atau saat papasan sama beberapa cowok saya merasa takut sendiri
Bukan tentang saya masih belum bisa menerima kenyataan, paling berat dlam fase denial adalah ketika saya takut berharap lagi,

Saya takut jatuh saat saya mencoba berharap lagi
Tapi apa bisa hidup tanpa harapan?
Mungkin benar kata seorang yang (sepertinya) menyayangi saya, Allah itu memberikan sesuatu sesuai porsinya kok, ya kalau mungkin selama ini kamu belum dapet apa yang kamu inginkan, mungkin yang kamu inginkan itu bukan porsi kamu.

Bismillah
Semoga hari ini, saya benar-benar bisa keluar dari fase denial ini
Saya yakin dan InsyaAllah ikhlas dengan kenyatan yang terjadi

Akhirnya, saya tidak harus menunggu sampai benar-benar 7 hari untuk bisa keluar dari fase denial ini, cukup 5 hari, Alhamdulilah

Satu hal yang selalu saya syukuri saat berada dalam fase denial, saya jadi tahu masih ada (dan mungkin banyak) orang yang menyayangi saya, yang sabar ngadepin saya yang mungkin sama anak SD aja kalah, yang mengerti kalau fase denial itu juga perlu, tapi jangan lama-lama.

Terimakasih.