Minggu, 06 Oktober 2013

Rahasia

Rahasia kadang membuat kita penasaran, namun daripada mendapatkan kenyataan yang menyakitkan, maka jauh lebih baik menjaganya tetap jadi sebuah rahasia.
Yakin seperti itu?
Kalau rahasia diartikan sebagai sesuatu yang tidak (boleh) diketahui kenapa ada istilah rahasia umum ya?
Hari ini nemu dua kejadian tentang rahasia, yang akhirnya menyimpulkan, terkadang rahasia itu harus tetep jadi rahasia, atau rahasia itu dicari biar ndak penasaran

Kejadian pertama,
Ada seseorang yang janjian sama saya, dia mau minta tolong sesuatu, lalu dia bilang, bentar ya aku masih sakit, nanti kalau udah enakan aku ke tempatmu 
Sebenernya saya ndak yakin dia sakit, cuma saya berusaha keras untuk yakin dia ndak sakit. Saya ndak tanya temen kerjanya, saya juga ndak mau mastiin dia masih bisa kerja atau harus bedrest, saya biarin aja saya penasaran sampai akhirnya dia ke rumah untuk mengambil sesuatu itu. 
Sehari, seminggu, dan sekarang, hampir tiga minggu belum ada kabarnya.
Bukan posesif atau apalah namanya, saya ndak suka aja kalau ada orang yang minta tolong lalu karena mungkin bagi dia ndak urgent lalu dia mengulur-ulur waktu, nanti kalau sudah urgent  dianya mburu-mburu. Dan itu menyebalkan sekali.
Saya nolong ndak berarti saya mau saja diperintah sesukanya, namanya minta tolong ya harusnya tahu diri juga kan. Bukan ngajari untuk menolong dengan tidak ikhlas, cuma ingin mengingatkan saja, saat minta tolong itu berarti saat kita ndak bisa melakukan sendiri, jadi mbok ya terimakasih gitu udah ditolongin, bukan sakkarepe dhewe gitu.
Ternyata saat berusaha menguak rahasia orang ini, ketahuanlah kalau dia masih (kuat) kerja. Padahal rumah saya dan tempat kerjanya deket lo, dan kalaupun misal dia ngajak ketemuan saya di deket kantornya atau mungkin di kantornya sambil mungkin menjenguk dia, saya mungkin masih mau, tapi dia sama sekali ndak ada kabar.
Menyakitkan saat tahu kejadiannya, tapi kalau misal saya ndak tahu kenyataan ini, saya akan tetep jadi orang bodoh yang mau saja nolongin orang yang cuma mau main-main saja. Jadi untuk kejadian ini, saya lebih suka kalau rahasia terbongkar. Cukuplah rahasia tentang sakitnya dia kebongkar sampai sini, karena kalau misal saya ketemu dia pasti saya makin sakit ati kalau tahu saya dibohongi mentah-mentah sama dia.

Kejadian kedua,
Tentang jurnal saya, hari ini saya mengecek "progres repotr" jurnal saya dan menemukan fakta kalau jurnal saya sedang nyasar. Kemana? saya juga ndak ngerti.
Ndak ada imel notifikasi dari penerbit, saya galau lah pasti.
Baru kemarin mikir  bisa segera wisuda, sekarang rasanya pikiran itu ketiup angin topan.
Mau ngimel penerbit tapi correspondent author bukan saya. Sampai akhirnya sore harinya ada imel bahwa jurnal saya direject dengan suatu alasan simple yang kalau mengingat keputusan ini diambil setelah 7 minggu itu rasanya menyakitkan. Saya ndak bisa terima dengan alasan itu, tapi saya juga ndak bisa protes.
Sama-sama menyakitkan seperti kejadian pertama, tapi kejadian ini membuat saya merasa kalau ada rahasia yang lebih baik tetap jadi rahasia.

Setiap kejadian pasti ada alasannya, terkadang alasan ini jadi rahasia. Mungkin kita perlu membongkarnya biar kita ndak penasaran, tapi ternyata ada kalanya alasan itu kudu tetep jadi rahasia dan kita cukup tahu tentang iya dan tidak saja.

Menyesal

Terkadang punya keinginan untuk menyesali sebuah sesuatu, tapi tiap kali ingin menyebut kata menyesal, tiap kali pula sadar, bukan keadaan yang membuat kata itu muncul, tapi justru sikap dari diri sendiri yang membuatnya ada.
Ndak mungkin juga mau nyalahin penemu kata menyesal karena membuat kata itu pernah ada.

Ada satu hal dengan beberapa kejadian yang membuat saya ingin mengungkapkan penyesalan, yaitu pertemuan. Pertemuan dengan 2orang pada 3 dan 2tahun yang lalu.
Bukan salah mereka mungkin salah saya, saya yang membuat pertemuan itu berubah menjadi perpisahan yang rumit hingga akhirnya membuahkan penyesalan.
Tapi saya ingat sama kata 2orang teman kemarin, yang saya gabungkan jadi kurang lebih kalau dia bener-bener sayang sama kamu, kalau dia bener-bener berniat baik pada kamu, dia tak akan menjelek-jelekkanmu dan dia tak akan membuatmu dalam situasi rumit seperti yang kamu alami sekarang, meskipun mungkin situasi yang sekarang itu karena kesalahanmu, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, tapi cobalah memperbaiki yang sudah terjadi, minta maaflah, tapi kalo semua tidak merubah apa-apa, maka tinggalkan dia, dia bukan orang yang berniat baik padamu, jangan buang waktu untuk orang seperti itu.

Mungkin petuah itu bener, atau bahkan memang petuah itu bener, tapi tetap saja kalau kenyataan yang sekarang adalah adanya penyesalan mengenal dua orang itu.

Orang pertama adalah seorang yang dulu jadi teman berbagi kegiatan, berbagi cerita dan beberapa pelajaran hidup. Dia sering mengingatkan dan mengoreksi apa yang saya lakukan, hingga entah kenapa tetiba dia tak melakukannya lagi. Kenapa?
Saya juga ndak tahu, dan karna saya ndak mau nyalahin orang, maka saya menganggapnya mungkin karena salah satu yang ada dalam diri saya, yang entah apa.
Sakitnya pasti, kenapa sakit yang saya juga tidak mengerti, mungkin karena kehilangan suatu kebiasaan, entahlah tapi karna sakit inilah saya sempat mbatin, saya menyesal ketemu dia

Orang kedua adalah teman satu perjuangan, berjuang mencapai tujuan hidup yang salah satu tujuan kita sama, meski kita beda jalan dan beda cara mewujudkan yujuan hidup kita yang ini, tapi kita berusaha bersama untuk mencapainya. Kita saling bantu untuk bisa ada di posisi saat ini, saya kira semua atas dasar ikhlas dan sayang, tapi kenyataan membuat saya menepis pemikiran itu. Dulu saya sering minta "ijin" ke dia, mau ini mau itu apa boleh? Dia bilang pada saya boleh, baru saya bertindak. Karena salah satu tujuan kita sama, jadi ada part dimana saya dan dia harus melewati proses yang sama. Sampai suatu saat saya ingin sedikit berlari maka saya ijin pada dia untuk memulai lebih dulu, dia mengiyakan, karena saat itu dia sedang ada tujuan lain jadi mengesampingkan tujuan ini. Sejak saat itu saya merasa ada yang berubah, sms jarang dibales, telfon jarang diangkat dan sebagainya. Saya masih merasa tak ada yang salah saat terakhir dia bilang kalau dia hanya sedang banyak pikiran, meskipun saat itu saya bener2 penasaran dengan sikapnya.
Sampai beberapa saat kemudian, ada seorang teman menyampaikan pesan kalau dia kecewa sama sikap saya yang ini, saya disuruh minta maaf, tapi maaf saya lewat sms ndak direspon, semua sosmed saya juga sudah diblok sama dia. Selanjutnya teman ini bilang, dia sudah ndak kecewa sama kamu.
Tidak berhenti disitu, besokannya dia ngadu ke temen yang lain, tentang kecewa sama saya, alasannya beda dengan alasan ke orang pertama, saya berusaha diam.
Beruntungnya teman yang ini tahu saya seperti apa, jadi dia tidak menjudge saya salah seperti teman yang pertama.
Makin lama serangan makin banyak, dia bilang ke teman satunya dengan alasan beda lagi, ke teman yang lain dengan alasan yang juga beda, sampai akhirnya saya menyerah.
Ada teman yang bilang, kalau orang ini sudah malas dengan sikap saya, jadi ga bakal ngerespon apapun yang saya lakukan.
Saya sedih lah pastinya, bahkan dulu sempet mikir mau nabrakin diri ke mobil pas lagi jalan di kampus, mikirnya kali aja kalo ketabrak saya bisa ndak mikir apa-apa lagi. Untungnya pas itu segera sadar, saya belum nyiapin ttg kematian, kasian keluarga saya kalo saya mati sekarang, kalau langsung mati, kalo kudu dirawat di rs berhari-hari malah lebih kasian lagi keluarga saya dan dia mungkin akan bahagia.
Mulai saat itu saya bersikap, kalau selama ini saya diam, selain karena saya males manjangin masalah, tapi saya juga berusaha membuat ini jadi urusan saya sama dia bukan urusan buanyak orang, saya sekarang akan membalas dia. Bukan dengan membalas fitnah dia, tapi saya akan menjelaskan apabila dia salah menyampaikan kebenaran. Orang pertama yang ada di cerita ini mengajari saya tidak untuk membalas perlakuan buruk orang dengan hal yang sama, jadi menghadapi orang kedua ini saya berusaha begitu.
Sekarang tujuan orang kedua ini sudah dicapai, bahkan dia "lebih sukses" dari saya. Saya ikut senang, tapi saat ingat dia sekarang sudah tidak "menganggap" saya, bahkan saya dijadikan dalam posisi ini, saya langsung merasa menyesal pernah mengenalnya.

Sekarang mungkin hubungan saya sama dua orang ini sudah tak seperti dulu? Salah siapa? Anggap saja salah saya, tapi saya juga sudah berusaha meminta maaf dan belum ada respon yang enak. Sempet si berespon baik, tapi setelah itu tidak ada respon lagi dari dia. 
Haruskah saya menyesal?
Ketika saya ingin menjawab harus, saya mulai berfikir kalau saya lah yang mungkin membuat semua seperti ini, jadi kenapa saya harus menyesal? Padahal menyesal berarti saya menyalahkan sesuatu atau seseorang lain.
Tapi ketika saya menjawab tidak harus, rasanya semua ini cukup membuat saya sakit hati. Tapi (lagi) karena (tiap) manusia punya hati, ya wajar suatu saat ngerasain sakit hati. Paling tidak saya belajar banyak dalam hubungan dengan dua orang ini, belajar bersikap, belajar tidak dendam, belajar cuek dan beberapa pelajaran kecil lainnya.

Penyesalan itu adalah ketika kita tak bisa mengambil sisi positif dari sebuah kejadian yang telah terjadi, jadi selama kita masih bisa bersyukur dengan apapun yang terlah terjadi, InsyaAllah tidak akan pernah benar-benar menyesal. Tapi bukan berarti saya membenci penemu kata menyesal atau jarang menyesal, hanya saja meminimalisasi penggunaannya.

Kamis, 03 Oktober 2013

Emoticon

Saat menulis suatu pesan, entah pesan teks maupun pesan elektronik, biasanya kita sering banget menambahkan suatu emoticon.
Mungkin fungsinya untuk menunjukkan ekspresi wajah saat menuliskan sesuatu, atau mungkin biar ndak dianggep judes. Jadi inget salah satu cerita di malam minggu miko tentang emoticon.

Seperti misalnya, saat ditanya, kamu apa kabar? kita mungkin sering jawabnya, Alhamdulilah baik :)
emoticon :) yang artinya senyum sering diartikan kalo kita sedang bahagia, tapi sebenernya apa iya?
Lucu lo adegan miko sama ryan pas bahas smiley di video itu.

Tapi sebenernya, fungsi emoticon itu apa ya?
Sometimes kok jadi menyeramkan ya pas nerima pesan teks atau pesan elektronik yang ada emoticonnya. Semacam kadang itu emoticon dikirimkan ke orang terdekat, nah ini ni yang nyeremin.
Nyereminnya itu karena kadang hati ikutan dalam proses ini, kalo udah pake hati ini biasanya ada salah satu yang salah ngartiin. Itu serem banget, karena kalo udah gitu biasanya pasti ada yang terluka dan ujung-ujungnya ada pemutusan silaturahmi.
Entahlah ya, orang beda-beda mikirnya

Berhubung saya pake BB dan sering BBMan, ada beberapa emotivon BB yang sering saya pake. Etapi ini bukan berarti promosi BB lo ya, whatsapp malah makin banyak pilihan emoticonnya, cuma jarang make aja,. Secara ;engkap, emoticon yang ada di BB seperti gambar berikut.



yang sering dipake si yang ada ungu-ungunya itu. Sampai beberapa waktu yang lalu saya menyadari sesuatu, klise si tapi karena kejadiannya udah beberapa kali terjadi sama saya makanya saya menyimpulkan kalau ternyata lebih baik tidak menggunakan emoticon ke "orang asing", entah orang yang jarang ketemu atau bahkan orang yang belum ernah ditemui, bahkan orang yang sering ditemui tapi tak pernah ngobrol langsung sama kita, kenapa? 
Karena takutnya disalah artiin
Mungkin niatnya mau bilang, makasih ya, kamu baik sekali, dan karena biasanya ungkapan terimakasih itu digambarkan dengan pelukan, biasanya diberi emoticon peluk. Karena kemungkinan kebiasaan bisa membuat kita ndak sadar, maka saat ada lawan jenis membantu dan kita memberi emoticon itu, ga bayangin deh dia nafsirinnya gimana, wong emoticon senyum aja sama dia bisa saja diartiin "lebih dari biasa" lagi, 
Jadi maaf ya kalo yang sering menghubungi saya dan saya bales tanpa emoticon, ndak niat judes si, cuma meminimalisasi salah arti saja