Kalimat singkat dari ”tempat
sampah” saya
Yang menyadarkan saya kalo saya
masih egois.
Selama ini, seringnya saya jadi
tempat sampah, mungkin membuat saya capek, dan saat capek itulah mulai deh ego
saya meninggi.
Maafkeun saya
Akhir-akhir ini, mungkin memang
waktunya aja yang barengan dengan tugas dan ujian kuliah yang seabrek dan
dengan masa-masa sensitif saya, akhirnya semuanya berasa berat, bagi saya.
Saya terkadang heran dengan
teman-teman saya, mereka seringnya mencari saya saat ada masalah atau mungkin
sedang gundah gulana atau berduka cita. Mengajak saya untuk melepas
ketidakenakan yang mereka rasakan. Dan saya, karena mungkin memang lebih suka
melihat orang tersenyum daripada tertekuktekuk mukanya, saya mengiyakan ajakan
mereka. Berusaha membuat mereka tersenyum dan melupakan, atau minimal
mengesampingkan pemikiran yang membuat mereka bersedih.
Melihat senyum mereka, ato
minimal tidak lagi melihat muka lecek
mereka itu sudah berasa sesuatu banget bagi saya, kenapa?
Karena saya juga pernah
merasakannya, merasa seneng saat saya menekuknekuk muka saya ada yang bisa
membuat saya tersenyum.
Ya mungkin ini cara Allah
mengajari saya tentang keikhlasan kali ya, apa saya ikhlas membuat mereka
tersenyum atau saya juga mengharapkan pamrih dari perbuatan saya itu.
Akhir-akhir ini, ndak tahu kenapa
juga barengan kejadiannya, teman-teman saya ini, yang rasanya baru kemaren
ngajakin saya nangis gara-gara patah hati, kini mereka sudah menemukan
kebahagiaan mereka, dan saya bukan orang pertama yan tahu itu.
Kecewa? Iya
Sakit hati? Pasti lah
Entah, rasanya itu berasa bener
jadi tempat sampah, dicarinya pas ada sesuatu yang ingin dibuang aja, yaitu
rasa ga enak. Giliran ada rasa enaknya, saya ada pun bakal dianggap ga ada,
karena mungkin rasa enak itu kalo dibagi esaya bisa berkurang kali ya,
entahlah.
Tapi sumpah saya kecewa berat
sama mereka, bahkan saya sempet terdiam dan menghindari mereka sesaat.
Saya waktu itu pernah cerita sama
teman lakik-laki saya, katanya memang nasib saya, diinget pas ada masalah saja
Saya juga pernah bercerita ke
teman perempuan yang lebih dewasa dari saya, jawabannya, ya memang kamu itu
cocok dari tempat pembuangan, empuk kalo buang ke kamu
Jedieng!
#tepok jidat
Sebenernya sakit hati saya pas
itu kebangetan lo, banget2 sakitnya, tapi setelah mencari tempat sampah juga,
saya sadar kalo sakit hati yang saya rasakan itu sepertinya ndak harus ada.
Saya berfikir agak lama untuk
melawan ego saya sendiri
Melawan rasa sakit hati dan
menggantinya dengan kebanggaan
Keras lo itu mikirnya
Pergolakan batin banget
Saat yang diinginkan itu berbeda
dengan kenyataan dan harus mengalahkan keinginan.
Dan saya bener-bener harus
melewatinya sendiri, iya sendiri, karena orang-orang di sekitar saya ndak ada
yang nguatin saya, kalo bukan malah nyalahin saya mungkin juga menyemangati
saya hanya sebatas kata sabar
#curcol
Coba masi ada kau disini, pasti
ndak berat-berat banget
#ngarep
Dan akhirnya saya menyadari
Sakit memang saat kita hanya
dibagi kesedihan tapi hampir dilupakan saat dia bahagia
Tapi, bukankah itu lebih baik?
Mungkin dia merasa hanya kitalah
yang bisa membuatnya tersenyum
Hanya kita yang mampu membuat
mereka tenang saat gundah gulana
Dan bukankah saat seseorang
menceritakan kenapa mereka menangis kepada kita, berarti orang itu percaya pada
kita?
Dan kepercayaan itu, sesuatu yang
sulit didapatkan dari orang lain
Seorang teman bilang pada saya, menceritakan kesedihan sama saja dengan
membuka aib sendiri, jadi saat kamu dijadikan tempat sampah oleh dia, harusnya
kamu seneng dung, dia percaya kamu
#Iya sih, percaya, tapi sumpah,
ngeselin
#eh?
Dan kalo bener begitu adanya,
bukankah berarti kita harus bangga?
Bangga karena mampu menghadirkan
senyum, tenang dan kepercayaan di hati orang lain.
Lalu saat mereka bahagia, dan
kita bukan orang pertama yang tahu, kesel itu pasti, Cuma,,,
Ada beberapa berita bahagia yang
akan lebih baik dibagikan saat dia sudah pasti adanya
Ada juga beberapa berita bahagia
yang akan lebih baik dibagikan saat bertemu langsung
Atau kemungkinan-kemungkinan
positif yang lain
Dan kalau bagi saya,
Mungkin, teman-teman saya ini
takut membagi kebahagiaannya dengan saya karena takut saya over bahagia hingga
masuk RSJ.
Ya mungkin karena teman-teman
saya itu tahunya saya selalu membawa kebagiaan di tas saya, jadi kalau saya
dikasih kabar gembira lagi, bisa-bisa saya over bahagianya,
Eh tapikan saya juga sudah sering
ke RSJ
#maen ke bagian dapurnya
maksudnya
Berbagi itu baik sebenernya, tapi
berbagi hal yang mungkin tidak membuat kita bahagia akan lebih menyenangkan,
karena saat hal yang tidak membahagiakan itu kita bagi-bagi, bisa saja habis
dan akhirnya kita tidak merasakan lagi hal yang tidak membahagiakan itu, tapi
untuk berbagi bahagia, mungkin akan susah, selain mungkin karena kita masih terlena
dengan kebahagiaan itu, bisa jadi kita sendiri yang takut bahagia itu berkurang
saat kita membaginya.
Apapun itu, akan lebih baik saat
kita tak hanya mencari teman kita hanya ketika kita sedang tidak berbahagia,
ndak ada salahnya kan berbagi kebahagiaan?
Toh kalau memang kita berteman,
ndak akan kok kita akan mengambil sesuatu yang bahagia itu dari teman kita,
lalu kenapa harus ndak mau berbagi kebahagiaan?
Mukamu yang sedang ditekuk-tekuk
ndak enak dipandang dan senyummu itu, jauh enak dipandang.