Jumat, 07 Februari 2014

Gak Njowo

Terkadang saat seseorang sedang berada di Pulau Jawa, sampai sekarang si saya tahunya di Jawa Timur, atau saat orang asli Jawa melihat seorang lainnya seperti seenaknya sendiri, akan muncul kalimat, gak njowo!

Semoga ini bukan tentang sara, tapi tentang budaya, atau mungkin tentang kebiasaan.
Saya bukan paham budaya, tapi memang budaya Jawa itu sopan. Ada tentang tata cara bicara, dimana kalau kita bicara dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati, kita harus menggunakan krama inggil.
Bahasa jawa memang ada 3 tingkatan, ngoko atau untuk sesama umur, krama biasanya untuk orang yang baru ditemui atau untuk dirinya sendiri dan krama inggil untuk orang yang lebih tua atau dihormati.
Karena ini biasanya saat ada orang yang menyebut kamu dengan kata u, ada beberapa orang jawa yang kurang sreg, termasuk saya sih *eh?
Soalnya kamu dalam bahasa jawa itu semacem ada tingkatannya, dari tingkatan kecil ke tinggi, kowe-sampeyan-panjenengan.
Pernah dicontohkan guru saya, saat orang jawa ya anggap saja antara pelanggan dan yang jual makanan, kebetulan pelanggan lebih muda daripada yang jualan, maka meskipun ada slogan pelanggan itu raja, tapi orang yang masih melestarikan budaya jawa akan berbicara dengan bahasa krama pada penjualnya, entah penjual itu berasal dari jawa atau tidak, selama dia masih di Jawa, maka itu adalah hal yang wajar.
Seperti misalnya akan bilang, pinten pak? (krama, red) bukan piro pak? (ngoko, red).
Biasanya untuk melihat bagaimana orang itu, dilihat juga dari panggilannya itu sendiri.

Orang Jawa juga sering dikenal dengan tepo slironya, atau dalam bahasa indonesia menempatkan diri. Biasanya masih pakai hati, misalnya ketika ada teman belum selesai melakukan sesuatu dan kita sudah, ga perlu lah kita bilang dengan bangga, aku sudah selesai lho!
Ini sedikit ndak njowo, karena saat kita bilang seperti itu, kita bisa disamakan dengan mengejek teman kita yang belum selesai itu. Boleh sih bilang seperti itu, tapi pastikan dulu kalau teman kita cukup lapang hatinya.
Ndak berarti juga ndak boleh seneng untuk keberhasilan sendiri, tapi menurut saya lebih ke merasakan apa yang dirasakan teman atau mungkin saling menjaga hati
Makanya terkadang saat mau ngomong sesuatu saja mikirnya cukup lama, biar ndak ada yang tersakiti.

Selain itu, biasanya untuk beberapa orang yang masih ikut kelompok halus, maka akan halus saat bersikap. Misalnya saat meminta bantuan akan bilang tolong dan setelah dibantu bilang terimakasih. Sepertinya si simple, tapi saat melihat ada orang yang niatnya minta bantuan tapi terucapkan seperti nyuruh itu rasanya nyesek, dan bikin hati bilang, nggak njowo.

Bukan untuk meninggikan budaya Jawa, tapi memang karena sedang tinggal di Jawa. Saya yakin tiap daerah punya budaya sendiri-sendiri, dan pastinya harusnya ketika sedang tinggal di suatu tempat, lebih baik mempelajari budaya setempat dan jangan sok tahu atau sok bisa.
Saya kadang suka ngenes ketika orang ingin dianggap jawa dengan ngomong jawa padahal dia belum bisa.
Semacem yang harusnya krama tapi ditulis ngoko, itu sedikit ndak sopan menurut saya, misalnya, untuk teman yang lebih tua bilang, wes sido mangan kowe?
Meskipun itu teman, tapi kalau lebih tua harusnya pakai krama, atau krama inggil, jadi wes sido maem sampeyan? Atau sios dhahar panjenengan?
Lebih baik kalau ndak bisa ndak usah sok bisa, belajar dulu saja, kalau bisa baru nulis.

Etapi kemarin waktu maen ke luar jawa, ada hal yang mirip. Saat disana dengan logat yang beda dengan orang sana, kebanyakan orang tertawa, tapi saat mencoba untuk berbicara dengan logat sana mereka lebih enak responnya.
Adaptasi itu penting, sadar dan dapat menempatkan diri dimana kita berada adalah kuncinya.

Dan dulu pas wisuda dapet buku ini dari seseorang, ternyata memang budaya menyimpan sesuatu yang baik dan poitif saat kita mempelajari dan melestarikannya

Tidak ada komentar: