Sekarang, bukan, sudah agak lama sih, ada banyak sekali novel yang
diangkat jadi layar lebar. Nggak banyak yang seneng, tapi yang seneng ya ada
lah. Kebayakan mereka kecewa karena visualisasi yang mereka baca itu ndak
sesuai sama apa yang telah mereka visualisasikan sendiri.
Manusiawi lah ya kalau saat membaca karya tulis, entah cerita pendek,
roman, puisi atau novel pasti kita sembari membayangkan apa yang kit abaca.
Kecuali komik, karena dalam komik sudah ada gambarnya.
Nah, novel-novel yang diangkat ke layar lebar ini, bukan komik, jadi
kalau visualisasi tak sesuai visualisasimu, jangan getun, lagian maruk banget
sih udah baca masih kudu maksa visualisasinya sama? Terus fungsinya apa syuting
film yang ceritanya sudah kebaca?
Visualisasi novel yang pertama saya lihat adalah dealova, karena belum
baca novel lengkapnya, saya biasa-biasa saja, dan ternyata memang ndak ngubah
banyak, jadi ndak kecewa lah ya. Agak kecewa adalah pas lihat ayat-ayat cinta,
ceritanya diubah agak jauh, tapi kata sutradara memang kan film beda dengan
novel, dan akhirnya saya setuju kalau harusnya visualisasi novel memang
harusnya ada yang berbeda sama novelnya.
Apalagi ya? Kebanyakan memang visualisasi tak sesuai novel jadi saya
males baca novel. Perahu kertas malah, ada banyak tokoh baru disini. Tapi saya
menikmati keduanya, menikmati novel dan visualisainya, Cuma saya jadi merubah
kebiasaan, dari yang sebelumnya baca dulu baru nonton, sekarang nonton dulu
baru baca, meminimalisir kecewa.
Daaaaan, saya sangat amat kecewa sama film Edensor
Emaan banget saya ngeluarin uang 80 ribu (karena juga bayarin adek
saya, red) hanya untuk nonton film ini. Bukan niat ngereview atau sok tahu
tentang film, tapi saya rasa film ini nggak ada gregetnya blas. Semacem ndak
ada konfliknya, dataaaaaaaaar pake banget wes ya.
Karena ini masih lanjutan dari dua film sebelumnya, saya kira film ini
bagus, pasti ada motivasi atau sesuatu yang bisa membuat saya terenyuh atau
gimana gitu. Toh sepertinya novelnya juga best seller sampai seri keempat. Tapi
ya mungkin memang dari novelnya sudah kurang ngreget dibanding pertama kedua,
jadi mungkin visualisasi seri ketiga ndak sekeren pertama kedua juga.
Maaf, bukan niat ngatain, Cuma berpendapat, dan saya juga belum baca
novel ketiganya juga.
Saya ndak ngerti kenapa film ini ndak ngreget, konfliknya ada si, tapi
ndak berasa ada konflik, semacam ngemasnya kurang apik kayaknya. Lukman sardi
tetep keren aktingnya, berapa sudah filmnya dan aktingnya ndak masuk kategori
jelek. Pak mathias muchus juga masih keren aktingnya, abimana juga tetep
ganteng, aktingnya dapet, lalu apa? Kata seorag temennya adek sih memang novel
ketiga dan keempat ndak sekeren pertama kedua, katanya lo ya, saya belum baca.
Seinget saya adalah ketika penulis skenario bukan penulis novel dan
dia sekaligus jadi sutradara, entah saya ga gaul atau memang saya ndak pernah
tahu film karya sutradara ini, tapi bener de kurang manis ngemasnya. Endingnya
malah dibikin kayak sinetron, entah memang di novelnya seperti itu atau bukan.
Maaf ya kalau salah, maaf untuk kritiknya, tapi beneran deh saya
kecewa film ini. Malah kata adek saya, ndak mau lagi diajak liat film
keempatya. Tahu gitu nonton soekarno deh, atau tenggelamnya kapal vanderwijk.
Atau maem ramen atau prosperity aja, bisa kenyang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar