Jumat, 27 Desember 2013

Visualisasi

Sekarang, bukan, sudah agak lama sih, ada banyak sekali novel yang diangkat jadi layar lebar. Nggak banyak yang seneng, tapi yang seneng ya ada lah. Kebayakan mereka kecewa karena visualisasi yang mereka baca itu ndak sesuai sama apa yang telah mereka visualisasikan sendiri.
Manusiawi lah ya kalau saat membaca karya tulis, entah cerita pendek, roman, puisi atau novel pasti kita sembari membayangkan apa yang kit abaca.
Kecuali komik, karena dalam komik sudah ada gambarnya.
Nah, novel-novel yang diangkat ke layar lebar ini, bukan komik, jadi kalau visualisasi tak sesuai visualisasimu, jangan getun, lagian maruk banget sih udah baca masih kudu maksa visualisasinya sama? Terus fungsinya apa syuting film yang ceritanya sudah kebaca?

Visualisasi novel yang pertama saya lihat adalah dealova, karena belum baca novel lengkapnya, saya biasa-biasa saja, dan ternyata memang ndak ngubah banyak, jadi ndak kecewa lah ya. Agak kecewa adalah pas lihat ayat-ayat cinta, ceritanya diubah agak jauh, tapi kata sutradara memang kan film beda dengan novel, dan akhirnya saya setuju kalau harusnya visualisasi novel memang harusnya ada yang berbeda sama novelnya.
Apalagi ya? Kebanyakan memang visualisasi tak sesuai novel jadi saya males baca novel. Perahu kertas malah, ada banyak tokoh baru disini. Tapi saya menikmati keduanya, menikmati novel dan visualisainya, Cuma saya jadi merubah kebiasaan, dari yang sebelumnya baca dulu baru nonton, sekarang nonton dulu baru baca, meminimalisir kecewa.

Daaaaan, saya sangat amat kecewa sama film Edensor
Emaan banget saya ngeluarin uang 80 ribu (karena juga bayarin adek saya, red) hanya untuk nonton film ini. Bukan niat ngereview atau sok tahu tentang film, tapi saya rasa film ini nggak ada gregetnya blas. Semacem ndak ada konfliknya, dataaaaaaaaar pake banget wes ya.
Karena ini masih lanjutan dari dua film sebelumnya, saya kira film ini bagus, pasti ada motivasi atau sesuatu yang bisa membuat saya terenyuh atau gimana gitu. Toh sepertinya novelnya juga best seller sampai seri keempat. Tapi ya mungkin memang dari novelnya sudah kurang ngreget dibanding pertama kedua, jadi mungkin visualisasi seri ketiga ndak sekeren pertama kedua juga.
Maaf, bukan niat ngatain, Cuma berpendapat, dan saya juga belum baca novel ketiganya juga.
Saya ndak ngerti kenapa film ini ndak ngreget, konfliknya ada si, tapi ndak berasa ada konflik, semacam ngemasnya kurang apik kayaknya. Lukman sardi tetep keren aktingnya, berapa sudah filmnya dan aktingnya ndak masuk kategori jelek. Pak mathias muchus juga masih keren aktingnya, abimana juga tetep ganteng, aktingnya dapet, lalu apa? Kata seorag temennya adek sih memang novel ketiga dan keempat ndak sekeren pertama kedua, katanya lo ya, saya belum baca.
Seinget saya adalah ketika penulis skenario bukan penulis novel dan dia sekaligus jadi sutradara, entah saya ga gaul atau memang saya ndak pernah tahu film karya sutradara ini, tapi bener de kurang manis ngemasnya. Endingnya malah dibikin kayak sinetron, entah memang di novelnya seperti itu atau bukan.

Maaf ya kalau salah, maaf untuk kritiknya, tapi beneran deh saya kecewa film ini. Malah kata adek saya, ndak mau lagi diajak liat film keempatya. Tahu gitu nonton soekarno deh, atau tenggelamnya kapal vanderwijk. Atau maem ramen atau prosperity aja, bisa kenyang

Tidak ada komentar: