Untuk mimpi yang tidak terlalu tinggi
Dengan doa yang di sepanjang hari
Dan usaha yang tiada henti
Tapi mimpi itu tak jua terpenuhi
Pasti akan muncul sebuah pernyataan, aku gag terima!!!
(Lalu???)
Saat kita sudah berusaha maksimal dan tentunya diiringi doa, namun ternyata mimpi itu belum tercapai juga, terus salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? Terus itu jadi masalah buat loe?
#kalo udah ngomong model gitu pasti ada yang langsung nyeletuk, keluar kan cowoknya! Dipikir saya kemasukan setan cowok kali ya?
Menurut saya ada beberapa kemungkinan kenapa mimpi itu belum tercapai juga,
1. Karena usaha dan doa belum maksimal
Mungkin minpi itu belum tercapai karena usaha dan doa yang belum maksimal. Batasan maksimal sebuah usaha dan doa masih belum jelas.Tapi, menurut saya, batas maksimal adalah saat dimana kita sudah melewati semua jalan yang benar dan halal tapi tetap ndak bisa maju, disitulah letak batasnya. Dan pastikan bahwa memang telah melewati semua jalan itu, termasuk jalan terabasan dan jalan berputar.
2. Karena waktu belum menyetujuinya untuk tercapai
Mungkin mimpi itu belum tercapai karena belum waktunya. Seperti halnya masak telur, ada waktunya telur sudah matang dan ada yang masih setengah matang. Banyak orang yang senang makan telur setengah matang, tapi bukankah akan lebih aman saat kita memakan telur itu dalam keadaan matang? Saat memastikan telur itu sudah matang atau masih setengah matang, kita tak bisa hanya melihat dari luarnya, tapi kita juga harus mencobanya. Sama dengan mimpi, terkadang yang tampak dari luar, bahwa inilah saatnya mimpi kita tercapai, belum tentu seperti itu adanya. Kita harus mencoba dan merasakannya.
3. Karena mimpi itu bukan jalan hidup terbaik untuk kita
Sering sekali nasihat ini terdengar saat mimpi belum tercapai, berarti itu bukan jalan terbaik untuk kita. Tapi ya, kalau boleh jujur, saat mimpi saya belum tercapai dan ada yang bilang seperti itu, rasanya saya ingin melemparkan highheel saya, tapi berhubung highheel saya Cuma satu, jadi saya tak jadi melemparnya. Eh salah, maksud saya, karena memang saat saya memikir ulang kalimat itu, saya rasa memang benar adanya. Seperti misalnya, banyak orang yang bilang kalau masak itu harus pakai garam, tapi saat tekanan darah kita tinggi, makanan yang terbaik adalah makanan yang tanpa garam. Mungkin simpel, Cuma gara-gara garam, namun ternyata dibalik garam itu ada sesuatu yang besar. Intinya, belum tentu yang kecil dan simpel dan bukan masalah buat orang lain, bisa jadi sesuatu yang besar dan masalah buat diri kita saat kita tidak dalam kondisi yang baik. Jadi saat kondisi seperti ini ada yang tanya, masalah buat loe? Jawab aja, iya ini masalah buat gue! *lalu timpuk-timpukan kapas*
Dan saat mimpi itu belum tercapai juga, ada beberapa perasaan dan atau pemikiran dalam benak kita,
1. Aku gag bisa terima
Pastilah akan merasa aku gag bisa terima. Kalau misal dicontohkan dengan garam tadi, mana bisa menerima makanan yang tanpa garam saat tekanan darah tinggi? Padahal yang lain boleh makan garam itu? Susah memang untuk bisa menerimanya, tapi bukankah kita juga mengenal yang namanya kebiasaan? Sekarang kitalah yang membentuk kebiasaan itu, tapi lusa, bisa saja kita dibentuk oleh kebiasaan itu. Jadi saat kita merasa gag bisa menerimanya, biasakanlah, biasakan ada dalam keadaan menerimanya, meskipun itu tak sesuai harapnmu, tapi biasakan, karena kebiasaan itulah yang membuatmu akhirnya bisa menerimanya.
2. Aku gag mau terima
Selain gag bisa terima, ada juga gag mau nerima. Gag mau ini berarti sudah dalam keadaan yang sangat amat bertentangan antara kenyataan dan keinginan. Yang bisa menetralisir keadaan ini menurut saya adalah kesadaran. Kesadaran bahwa hidup akan tetap berjalan dan tak ada jalan lain selain menerimanya. Jika dikembalikan ke ilustrasi garam tadi, jika akhirnya kita tidak mau makan karena makanan kita tidak ada garamnya, terus kita ndak makan selamanya gitu? Atau kita mau makan dengan garam dengan catatan kalau tekanan darah kita semakin meningkat? Disinilah letak kesadaran yang saya maksud, sadar jika akhirnya tak ada pilihan lain selain kita makan tanpa garam itu sendiri. Meskipun ada pilihan lain, namun pilihan lain itu. Sama sekali nggak ada baiknya untuk kita.
3. Aku percaya itu bukan terbaik untukku
Dan akhir dari semua perasaan dan atau pemikiran, adalah mengikhlaskan kalau semua ini memang bukan yang terbaik. Karena yang terbaik untuk orang lain, belum tentu terbaik pula untuk kita.
Atau mungkin masih banyak lagi kemungkinan perasaan dan atau pemikirannya, namun yang paling sering terjadi adalah aku gag terima. Tapi saat mau meluangkan uang kita, maksud saya meluangkan waktu kita untuk berfikir (mengacu ke kalimat waktu adalah uang), tidak akan ada jalan lain selain kita harus, menerimanya. Kalaupun kita menolak jalan itu, bagaimana caranya? Mau diem aja di kamar, mau tenggelam dalam lautan luka kayak lagu butiran debu? Atau mau tidur aja sampe akhirnya mimpi itu tecapai? Atau mau ngambek sama semua orang bahkan mungkin ngambek ke Allah karena tidak mengizinkanmu mencapai mimpimu?
Untuk apa?
Life must go on honey!
Sakit itu pasti
Kecewa ndak perlu ditanyain lagi
Lelah juga mengiringi
Tapi bukankah disitu letak manisnya perjuangan?
Bukankah disitu letak kesuksesan kita?
Dan bukankah disitu rasa syukur kita diuji?
Coba deh bedain, saat kita makan burger yang delivery dan makan burger dengan menerobos ujan untuk membelinya, meskipun rasa burgernya sama, belinya juga di tempat yang sama, pasti kerasa bedanya
#ini kenapa nyontohinnya ke burger lagi ya?
Bukan ngajarin lebay, tapi saat kita menerobos hujan hanya untuk bisa merasakan burger yang kita inginkan saat itu, disitulah kita merasakan manisnya perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, disitulah kita sukses untuk perjuangan kita dan disitulah kita melewati ujian syukur, karena kita punya badan dan jiwa yang sehat dan bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
Namun saat kita memilih delivery, memang sih, tinggal modal pulsa dan duit yang lebih sedikit untuk uang deliverynya, tapi, kemudian, apa bedanya kita sama beberapa pasien yang terbaring lemas dan tak mampu berbuat apa-apa? Pasien itu pengen sehat, pengen bisa jalan-jalan, tapi kita yang sehat, yang bisa jalan-jalan malah pengen kayak mereka, bukankah itu namanya kurang bersyukur?
Males itu penyakit membahayakan sodara-sodari, janganlah sekali-kali mendekatinya. Banyak orang pengen sehat, kenapa kita yang sehat malah pengen kayak orang sakit?
#kayaknya ngomongin saya sendiri deh ini!
Dan akhirnya, kembali lagi ke judul, perasaan dan atau pemikiran ndak terima itu pasti ada, tapi kita harus pandai menyikapinya. Kita memang tak punya “jalan” lain selain (akhirnya) menerimanya, tapi kita punya pilihan untuk menjalaninya dengan bahagia atau dengan tersiksa. Saat kita tak mau terima namun (akhirnya) menerimanya dengan bahagia, setidakenak apapun jalan itu, akan terasa tenang, nyaman, aman dan tentram kita menjalaninya. Namun, saat (akhirnya) kita menerimanya dengan tersiksa, hanya akan muncul ketidakikhlasan, dan keluhan dan pastinya akan terasa berat melewatinya!:)
Ini hidupmu, kamu yang menentukan.
Mau tetap mengejar idealismemu atau mau berserah diri dengan jalan yang dipiihkan untukmu atau mau pasrah juga kamu yang menentukan.
Tapi ingatlah, sesuatu yang bukan untuk kita, sekeras apapun kita berusaha mendapatkannya, kita tak akan bisa menggapainya.
Keep spirit!
3 komentar:
*sembunyikan kompor*
*sembunyikan piso*
yan, sudah?
kok disembunyiin sih?
akukan mau masak
makan apa aku kalau kopor dan pisonya disembunyiin?
#eh?
gigit jari lah... di emut XD
Posting Komentar