Katanya saat kita terjatuh ke dalam lubang yang sama sampai lebih dari dua kali, berarti kita lebih bodoh dari tupai. Bukan berarti kalau tupai itu bodoh, tapi mengacu ke peribahasa sepandai-pandainya tupai melompat, maka akan jatuh ke kubangan juga, kan berarti tupai kurang pandai ya?
#maaf ya tupai, salahin yang bikin peribahasa
Kemarin, kuakui, aku terjatuh, selain karena aku yang tak bisa menjaga keseimbangan tubuhku, juga karena kau, kau yang membuatku merasakan sesuatu yang ternyata tak nyata. Perihnya kadang masih terasa, tapi kalimat maafmu kala itu membuatku merasa cukup untuk tak menyimpan dendam padamu. Aku percaya tiap orang akan mendapatkan balasan perbuatannya, tak berarti aku dendam padamu, aku hanya menyerahkan semua kepada pencipta hidup, jika memang kau pantas untuk mendapat balasan, maka suatu saat kau akan merasakan apa yang kurasa, namun jika kau tak pantas mendapatkannya, biarlah sakit ini aku yang merasakannya. Dan lagi, permintaan maafmu melelehkan dendam yang sempat ada dalam hatiku.
Hari ini, kau bilang kita berteman. Dulu, saat kita berteman, kau sering melakukan hal-hal kecil yang membuatku merasa senang berteman denganmu. Tapi hari ini, kuberanikan diriku, melawan perih yang masih terasa untuk menyapamu dan kembali dekat denganmu, kau dingin, seolah tak peduli denganku. Kau mungkin membalas sapaanku, tapi terlihat jika kau tak suka melakukannya. Jika memang itu benar adanya, dan jika kau masih menganggapku teman, lebih baik sama sekali tak kau balas sapaanku daripada kau buatku menyimpulkan klau kau terpaksa membalas sapaanku.
Salahkah aku jika aku hanya ingin kembali dekat denganmu?
Salahkah aku jika aku ingin melupakan sakit yang kemarin ada?
Salahkah aku jika aku hanya ingin berteman baik padamu?
Mungkin akan banyak orang yang tak menyetujuinya, bukan karena berteman denganmu sesuatu hal yang tak baik, tapi karena mereka tak ingin aku jatuh lagi. Tapi aku tak peduli, biarlah aku jatuh berkali-kali atau biarlah aku menjadi lebih bodoh dari tupai asal kau masih mau menjadi temanku.
Kadang terasa kau terlalu manis untuk dilupakan
Kadang terasa kau terlalu indah untuk ditinggalkan
Tapi apa yang bisa kulakukan?
Sekuat apapun aku berusaha kembali dekat denganmu
Kau seolah menutup semua jalan untukku
Kau mengajariku banyak hal
Kesabaran, kejujuran, kebaikan, ketenangan, kenyamanan dan keikhlasan, jujur aku tak ingin kehilangan teman sepertimu. Tapi seolah kau tak meninginkan kita kembali seperti dulu. Dan aku harus menerima itu. Menghargaimu sebagai temanku, yang mungkin lebih bahagia bila aku tak bersamamu.
Tapi maaf, aku belum bisa. Belum bisa untuk benar-benar jauh darimu. Belum bisa untuk melupakanmu.
Benarkah sudah tak ada cara untuk kembali seperti dulu?
Benarkah sudah tak ada kesempatan untuk sedekat dulu?
Bukankah kita masih punya banyak janji yang belum terlaksana?
Bukankah keyakinan kita mengajarkan kita untuk menjaga hubungan baik dengan sesama?
Bukankah kau dulu juga pernah berkata seperti itu?
Biarlah yang terjadi kemarin menjadi sesuatau yang tak lagi harus dipikirkan. Kita memang hidup karena ada hari kemarin, tapi tak berarti kita hidup untuk hari kemarin kan?
Biarlah luka, perih dan air mata di hari kemarin menjadi bagian hidup yang memang harus dihadapi. Kau mengajarkanku untuk ikhlas dan aku sudah ikhlas untuk menerimanya.
Dan kini, aku hanya ingin hidup untuk hari ini dan esok, melupakan yang kemarin.
Tak peduli berapa banyak air mata yang terjatuh karenamu, tak peduli berapa kali harus jatuh karenamu dan tak peduli berapa kali kecewa karena sikapmu.
Aku masih tak bisa meninggalkanmu, tapi bisakah kau lakukan hal yang sama?