Rahasia kadang membuat kita penasaran, namun daripada mendapatkan kenyataan yang menyakitkan, maka jauh lebih baik menjaganya tetap jadi sebuah rahasia.
Yakin seperti itu?
Kalau rahasia diartikan sebagai sesuatu yang tidak (boleh) diketahui kenapa ada istilah rahasia umum ya?
Hari ini nemu dua kejadian tentang rahasia, yang akhirnya menyimpulkan, terkadang rahasia itu harus tetep jadi rahasia, atau rahasia itu dicari biar ndak penasaran
Kejadian pertama,
Ada seseorang yang janjian sama saya, dia mau minta tolong sesuatu, lalu dia bilang, bentar ya aku masih sakit, nanti kalau udah enakan aku ke tempatmu
Sebenernya saya ndak yakin dia sakit, cuma saya berusaha keras untuk yakin dia ndak sakit. Saya ndak tanya temen kerjanya, saya juga ndak mau mastiin dia masih bisa kerja atau harus bedrest, saya biarin aja saya penasaran sampai akhirnya dia ke rumah untuk mengambil sesuatu itu.
Sehari, seminggu, dan sekarang, hampir tiga minggu belum ada kabarnya.
Bukan posesif atau apalah namanya, saya ndak suka aja kalau ada orang yang minta tolong lalu karena mungkin bagi dia ndak urgent lalu dia mengulur-ulur waktu, nanti kalau sudah urgent dianya mburu-mburu. Dan itu menyebalkan sekali.
Saya nolong ndak berarti saya mau saja diperintah sesukanya, namanya minta tolong ya harusnya tahu diri juga kan. Bukan ngajari untuk menolong dengan tidak ikhlas, cuma ingin mengingatkan saja, saat minta tolong itu berarti saat kita ndak bisa melakukan sendiri, jadi mbok ya terimakasih gitu udah ditolongin, bukan sakkarepe dhewe gitu.
Ternyata saat berusaha menguak rahasia orang ini, ketahuanlah kalau dia masih (kuat) kerja. Padahal rumah saya dan tempat kerjanya deket lo, dan kalaupun misal dia ngajak ketemuan saya di deket kantornya atau mungkin di kantornya sambil mungkin menjenguk dia, saya mungkin masih mau, tapi dia sama sekali ndak ada kabar.
Menyakitkan saat tahu kejadiannya, tapi kalau misal saya ndak tahu kenyataan ini, saya akan tetep jadi orang bodoh yang mau saja nolongin orang yang cuma mau main-main saja. Jadi untuk kejadian ini, saya lebih suka kalau rahasia terbongkar. Cukuplah rahasia tentang sakitnya dia kebongkar sampai sini, karena kalau misal saya ketemu dia pasti saya makin sakit ati kalau tahu saya dibohongi mentah-mentah sama dia.
Kejadian kedua,
Tentang jurnal saya, hari ini saya mengecek "progres repotr" jurnal saya dan menemukan fakta kalau jurnal saya sedang nyasar. Kemana? saya juga ndak ngerti.
Ndak ada imel notifikasi dari penerbit, saya galau lah pasti.
Baru kemarin mikir bisa segera wisuda, sekarang rasanya pikiran itu ketiup angin topan.
Mau ngimel penerbit tapi correspondent author bukan saya. Sampai akhirnya sore harinya ada imel bahwa jurnal saya direject dengan suatu alasan simple yang kalau mengingat keputusan ini diambil setelah 7 minggu itu rasanya menyakitkan. Saya ndak bisa terima dengan alasan itu, tapi saya juga ndak bisa protes.
Sama-sama menyakitkan seperti kejadian pertama, tapi kejadian ini membuat saya merasa kalau ada rahasia yang lebih baik tetap jadi rahasia.
Setiap kejadian pasti ada alasannya, terkadang alasan ini jadi rahasia. Mungkin kita perlu membongkarnya biar kita ndak penasaran, tapi ternyata ada kalanya alasan itu kudu tetep jadi rahasia dan kita cukup tahu tentang iya dan tidak saja.
Sehari, seminggu, dan sekarang, hampir tiga minggu belum ada kabarnya.
Bukan posesif atau apalah namanya, saya ndak suka aja kalau ada orang yang minta tolong lalu karena mungkin bagi dia ndak urgent lalu dia mengulur-ulur waktu, nanti kalau sudah urgent dianya mburu-mburu. Dan itu menyebalkan sekali.
Saya nolong ndak berarti saya mau saja diperintah sesukanya, namanya minta tolong ya harusnya tahu diri juga kan. Bukan ngajari untuk menolong dengan tidak ikhlas, cuma ingin mengingatkan saja, saat minta tolong itu berarti saat kita ndak bisa melakukan sendiri, jadi mbok ya terimakasih gitu udah ditolongin, bukan sakkarepe dhewe gitu.
Ternyata saat berusaha menguak rahasia orang ini, ketahuanlah kalau dia masih (kuat) kerja. Padahal rumah saya dan tempat kerjanya deket lo, dan kalaupun misal dia ngajak ketemuan saya di deket kantornya atau mungkin di kantornya sambil mungkin menjenguk dia, saya mungkin masih mau, tapi dia sama sekali ndak ada kabar.
Menyakitkan saat tahu kejadiannya, tapi kalau misal saya ndak tahu kenyataan ini, saya akan tetep jadi orang bodoh yang mau saja nolongin orang yang cuma mau main-main saja. Jadi untuk kejadian ini, saya lebih suka kalau rahasia terbongkar. Cukuplah rahasia tentang sakitnya dia kebongkar sampai sini, karena kalau misal saya ketemu dia pasti saya makin sakit ati kalau tahu saya dibohongi mentah-mentah sama dia.
Kejadian kedua,
Tentang jurnal saya, hari ini saya mengecek "progres repotr" jurnal saya dan menemukan fakta kalau jurnal saya sedang nyasar. Kemana? saya juga ndak ngerti.
Ndak ada imel notifikasi dari penerbit, saya galau lah pasti.
Baru kemarin mikir bisa segera wisuda, sekarang rasanya pikiran itu ketiup angin topan.
Mau ngimel penerbit tapi correspondent author bukan saya. Sampai akhirnya sore harinya ada imel bahwa jurnal saya direject dengan suatu alasan simple yang kalau mengingat keputusan ini diambil setelah 7 minggu itu rasanya menyakitkan. Saya ndak bisa terima dengan alasan itu, tapi saya juga ndak bisa protes.
Sama-sama menyakitkan seperti kejadian pertama, tapi kejadian ini membuat saya merasa kalau ada rahasia yang lebih baik tetap jadi rahasia.
Setiap kejadian pasti ada alasannya, terkadang alasan ini jadi rahasia. Mungkin kita perlu membongkarnya biar kita ndak penasaran, tapi ternyata ada kalanya alasan itu kudu tetep jadi rahasia dan kita cukup tahu tentang iya dan tidak saja.